Malang, 30 November 2023 – Well, sebelum berpikir lebih jauh, mari kita ketahui terlebih dahulu, ada fenomena apa dibalik perasaan ‘tidak cukup’ ini.
Generasi Z saat ini banyak memiliki tantangan dan mulai aware dengan berbagai macam gangguan mental seperti depresi, stress, dan kecemasan. Selain itu generasi ini juga rentan merasakan insecure terlebih ketika melihat pencapaian-pencapaian individu lain. Siapa juga yang merasakan hal yang sama?
Sifat insecure ini dapat mengarah pada impostor phenomenon atau lebih dikenal dengan impostor syndrome. Sindrom ini merupakan kondisi psikologis dimana seseorang memiliki perasaan tidak layak atas penghargaan yang telah dicapainya serta menganggap hanya sebuah kebetulan saja. Sehingga biasanya pengidap menganggap bahwa keberhasilan yang diperoleh ini merupakan sebuah keberuntungan atau kesalahan administrasi, bukan karena kemampuan aktual diri sendiri.
Individu dengan impostor syndrome ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal (Nafisaturrisa &Hidayati, 2023). Faktor internal biasanya berasal dari dalam diri sendiri seperti ketidakmampuan dalam memvalidasi diri dan tidak dapat mengendalikan sikap emosional serta khawatir terhadap suatu hal yang belum tentu terjadi. Sedangkan faktor eksternal ini berasal dari luar diri seperti membandingkan diri sendiri terhadap orang lain, dan pola asuh dari kedua orang tua. Pola asuh orang tua yang cenderung kurang memberikan apresiasi, selalu membandingkan pencapaian, dan menuntut hal-hal yang lebih juga mempengaruhi terjadinya impostor syndrome ini. Tentu saja tidak hanya dipengaruhi oleh orang tua melainkan kondisi dari lingkungan dan tekanan dari lingkungan juga turut berkontribusi, loh!
Dalam keseharian hidup kita tentu hal-hal ini dapat memberikan dampak terlebih ketika sindrom ini berulang dan selalu dipikirkan oleh diri kita. Dampak negatif dari impostor syndrome secara psikologis adalah pandangan terhadap diri sendiri sebagai penipu, merasa dihantui oleh ketakutan yang terus-menerus pada setiap kesuksesan yang telah dicapai (Ali et. al., 2015). Sedangkan dampak negatif secara sosial ini adalah dapat merenggangkan hubungan dengan keluarga ataupun dengan orang lain (Nugroho, 2022). Selain itu, lingkungan menjadi mempertanyakan kredibilitas pencapaian yang telah kita raih. Karena, jika diri kita sendiri nggak percaya, gimana orang lain?
So.. what things to do?? Here some tips!
- Jika gejala ini menghambat kinerja dalam bekerja, belajar, ataupun berkegiatan lain. Dengan ini disarankan untuk mengetahui penyebab dan kondisi melalui konseling dengan psikolog. Seek for help is not weakness, is wisdom!
- Jangan pernah mencari informasi di google kemudian mendiagnosa diri sendiri (self-diagnose) bahwa diri memiliki gejala sindrom tersebut. Cukup dalam fase aware aja ya teman-teman!
- Mengubah pola pikir dari “saya beruntung” menjadi “saya bangga dengan keberhasilan yang saya capai atas usaha dan doa saya”
- Terus melakukan apresiasi kepada diri sendiri sesederhana mungkin “semua aku harus dirayakan” As nadin amizah sing
- Menikmati hasil kesuksesan yang telah dicapai semata berkat usaha dan doa yang telah dilakukan
- Mencatat jurnal usaha yang telah dilakukan selama prosesnya berlangsung. Cara ini efektif untuk menjadi bukti penguat temen-temen dalam membuat validasi bagi diri sendiri
- #opentoappreciation by people. Mulai buka diri temen-temen! Perlahan-lahan mulai mengapresiasi diri dan menerima pujian dari orang lain. Cukup diterima yaa, tidak perlu dijadikan patokan utama dalam usaha temen-temen.
So, we hope you guys have enough satisfied with yourself! Apapun yang diusahakan, mari kita rayakan semua dengan hati yang sadar utuh dan hadir penuh (mindful)
Semoga bermanfaat!
#MentalHealthMatters
#YouAreNotAlone
#WeAreProudOfYou
No responses yet